1. Latar Belakang
Di negara barat, batu
empedu mengenai 10% orang dewasa. Angka prevalensi orang dewasa lebih tinggi.
Angka prevalensi orang dewasa lebih tinggi di negara Amerika Latin (20% hingga
40%) dan rendah di negara Asia (3% hingga 4%). Kolelitiasis termasuk penyakit
yang jarang pada anak.
Menurut Ganesh et al dalam
pengamatannya dari tahun januari 1999 sampai desember 2003 di Kanchi
kamakoti Child trust hospital, mendapatkan dari 13.675 anak yang
mendapatkan pemeriksaan USG, 43 (0,3%) terdeteksi memiliki batu kandung empedu.
Semua ukuran batu sekitar kurang dari 5 mm, dan 56% batu merupakan batu
soliter. Empat puluh satu anak (95,3%) dengan gejala asimptomatik dan hanya 2
anak dengan gejala (Gustawan, 2007). Di Indonesia, kolelitiasis baru
mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi penelitian batu empedu
masih terbatas. Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak mempunyai
keluhan.
Batu empedu adalah timbunan Kristal
didalam kandung empedu atau didalam saluran empedu. Batu yang ditemukan didalam
kendung empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu didalam saluran empedu
disebut koledokolitiasis (Lesmana, dkk 2009).
Kejadian batu empedu dinegara-negara
industry antara 10-15%. Di Amerika Serikat, insiden kolelitiasis diperkirakan
20 juta orang, dengan 70% diantaranya didominasi oleh batu kolesterol dan 30%
sisanya terdiri dari batu pigmen dan komposisi yang bervariasi (Healthy
Lifestyle, 2008). Sedangkan penelitian di Jakarta pada 51pasien didapatkan batu
pigmen pada 73% pasien dan batu kolesterol pada 27%pasien (FKUI/RSCM, 2009).
Prevalensi tergantung usia, jenis kelamin, dan etnis. Kasus batu empedu lebih
umum ditemukan pada wanita. Faktor resiko batu empedu memang dikenal dengan
singkatan 4F, yakni Fatty (gemuk), Fourty (40 tahun), Fertile (subur), dan
Female (wanita). Wanita lebih beresiko mengalami batu empedu karena pengaruh
hormone estrogen. Meski wanita dan usia 40 tahun tercatat sebagai factor resiko
batu empedu, itu ttidak berarti bahwa wanita dibawah usia 40 tahun dan pria
tidak mungkin terkena. Penderita diabetes mellitus (DM), baik wanita maupun
pria beresiko mengalami komplikasi batu empedu akibat kolesterol tinggi. Bahkan
anak-anakpun bias mengalaminya terutama anak dengan kolesterol herediter.
Menurut gambaran makroskopik dan
komposisi kimianya batu empedu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori
mayor, yaitu 1. Batu kolesterol dimana komposisi kolesterol melebihi 70%, 2.
Batu pigmen coklat atau batu calcium bilirubinate yang mengandung
Ca-bilirubinate sebagai komponen utama, dan 3. Batu pigmen hitam yang kaya akan
resiko hitam terekstraksi.
Ada tiga factor penting yang berperan
penting dalam pathogenesis batu kolesterol: hipersaturasi kolesterol dalam
kandung empedu, percepatan terjadinya kristalisasi kolesterol dan gangguan
motilitas kandung empedu dan usus. Sedangkan pathogenesis batu pigmen
melibatkan infeksi saluran empedu, stasis empedu, malnutrisi dan factor diet.
Kelebihan aktivitas glucuronidase bakteri dan manusia (endogen) memegang peran
kunci dalam pathogenesis batu pigmen pada pasien di Negara timur.
Walaupun batu dapat terjadi dimana saja
dalam saluran empedu, namun batu kandung empedu ialah yang tersering didapat.
Bila batu empedu ini tetap saja tinggal didalam kandung empedu, maka biasanya
tidak menimbulkan gejala apapun. Gejala-gejala biasanya timbul bila batu ini
keluar menuju deudenum melalui saluran empedu, karena dapat menyebabkan kolik
empedu akibat iritasi, hidrops atau empyema akibat obstruksi duktus cysticus.
Bila obstruksi terjadi pada duktus koledukus maka dapat terjadi kolangitis
ascendens, ikterus dan kadang-kadang sirosis bilier.
Jika batu empedu tidak menimbulkan gejala
biasanya pasien tidak memerlukan pengobatan. Meski demikian, banyak juga kasus
batu empedu yang membutuhkan tindakan operasi yang disebut cholecystectomy.
Saat ini operasi sudah biasa dilakukan dengan laparaskopi atau bedah minimal.
Karena hanya dengan sayatan kecil, proses pemulihannyapun lebih cepat. Bedah
minimal hanya menimbulkan sedikit nyeri dan kalaupun terjadi komplikasi hanya ringan
saja tidak seperti bedah terbuka. Ada pula kasus yang mengharuskan kandung
empedu diangkat. Walaupun organ ini sudah dibuang, seseorang bias saja
melanjutkan kehidupannya dengan normal dan tetap produktif karena sebetulnya
kantong empedu hanya berfungsi sebagai tempat penampungan. Setelah menjalani
pengangkatan kantong empedu, pasien sebaiknya memperhatikan pola makan yaitu
dengan membatasi asupan makanan berlemak dan berminyak.
2. Pengertian
Kolelitiasis adalah pembentukan batu
empedu yang biasanya terbentuk dalam kantong empedu dari unsur-unsur padat yang
membentuk cairan empedu (Brunner & Suddarth, 2001).
Kolelitiasis adalah batu empedu yang
terletak pada saluran empedu yang disebabkan oleh faktor metabolik antara lain
terdapat garam-garam empedu, pigmen empedu dan kolestrol, serta timbulnya
peradangan pada kandung empedu ( Barbara, 1996 ).
Batu empedu merupakan endapan satu atau lebih komponen empedu
kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam lemak dan
fosforlipid (Price & Wilson, 2005).

3. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi
Empedu
Kandung empedu adalah kantong berbentuk
buah pear yang terletak pada permukaan visceral hepar. Kantung empedu dibagi
menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol
dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding
anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan
permukaan visceral hati dan arahnya ke atas, belakang dan kiri. Collum
dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk
bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus koledokus.
Peritoneum mengelilingi kandung empedu dengan sempurna menghubungkan corpus dan
collum dengan permukaan visceral hati.
b. Fisiologi Empedu
Kandung empedu berperan sebagai resevoir
empedu dengan kapasitas sekitar 50 ml. Kandung empedu mempunyai kemampuan
memekatkan empedu. Untuk membantu proses ini, mukosanya mempunyai lipatan –
lipatan permanen yang satu sama lain saling berhubungan. Sehingga permukaanya
tampak seperti sarang tawon. Sel - sel thorak yang membatasinya juga mempunyai
banyak mikrovilli. Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam
kanalikuli. Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di
dalam septum interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus
hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis.
Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu
yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum
disalurkan ke duodenum.
4. Klasifikasi Kolelitiasis (Lesmana,
2000)
Menurut gambaran makroskopis dan
komposisi kimianya, batu empedu digolongkan atas 3 (tiga) golongan, yaitu:
a. Batu kolesterol
Batu kolesterol mengandung paling
sedikit 70% kolesterol, dan sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium palmitit,
dan kalsium bilirubinat. Bentuknya lebih bervariasi dibandingkan bentuk batu
pigmen. Terbentuknya hampir selalu di dalam kandung empedu, dapat berupa
soliter atau multipel. Permukaannya mungkin licin atau multifaset, bulat,
berduri, dan ada yang seperti buah murbei. Batu Kolesterol terjadi kerena
konsentrasi kolesterol di dalam cairan empedu tinggi. Ini akibat dari
kolesterol di dalam darah cukup tinggi. Jika kolesterol dalam kantong empedu
tinggi, pengendapan akan terjadi dan lama kelamaan menjadi batu. Penyebab lain
adalah pengosongan cairan empedu di dalam kantong empedu kurang sempurna, masih
adanya sisa -sisa cairan empedu di dalam kantong setelah proses pemompaan
empedu sehingga terjadi pengendapan.

b. Batu pigmen
Penampilan batu kalsium bilirubinat yang
disebut juga batu lumpur atau batu pigmen, tidak banyak bervariasi. Sering
ditemukan berbentuk tidak teratur, kecil-kecil, dapat berjumlah banyak,
warnanya bervariasi antara coklat, kemerahan, sampai hitam, dan berbentuk
seperti lumpur atau tanah yang rapuh. Batu pigmen terjadi karena
bilirubin tak terkonjugasi di saluran empedu (yang sukar larut dalam air),
pengendapan garam bilirubin kalsium dan akibat penyakit infeksi.

c. Batu empedu campuran
Batu ini adalah jenis yang paling banyak
dijumpai (±80%) dan terdiri atas kolesterol, pigmen empedu, dan berbagai garam kalsium.
Biasanya berganda dan sedikit mengandung kalsium sehingga bersifat radioopaque.
5. Faktor Resiko (Lesmana, 2000)
Semakin banyak faktor resiko yang
dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadi kolelitiasis.
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa di bawah ini, yaitu:
a. Jenis kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat
disbanding dengan pria. Hal ini dikarenakan hormone estrogen berpengaruh
terhadap peningkatan eksresi kolesterol kandung empedu. Kehamilan yang
meningkatkan kadar kolesterol juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.
Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormone (estrogen) dapat meningkatkan
kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung
empedu.
b. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis
meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Usia lebih dari 60 tahun lebih
cenderung untuk terkena kolelitiasis.
c. Berat badan (BMI/ Body Mass Index)
Orang dengan BMI tinggi lebih berisiko
terkena kolelitiasis. Hal ini disebabkan karena kadar kolesterol dalam kandung
empedu tinggi.
d. Makanan
Intake rendah kalori, kehilangan berat
badan yang cepat mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan
dapat menyebabkan penurunan konkraksi kandung empedu.
e. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga
kelelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingkan dengan tanpa riwayat
keluarga.
f. Aktivitas fisik
Kurangnya aktivitas fisik berhungan
dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitasis. Hal ini disebabkan karena
kandung empedu berkontraksi.
6. Etiologi (David, 1994)
a. Peningkatan jumlah kolesterol
didalam empedu.
b. Reseksi ilieum yang luas (
seperti pada operasi jejunoileum).
c. Anemi hemolitik (Peningkatan beban
bilirubin tak terkonjugasi membentuk batu pigmen murni).
d. Invasi bakteri sekunder dalam
saluran empedu. Tingginya insiden batu kalsium bilirubinat bisa
berhubungan dengan invassi bakteri skunder dalam batang saluran empedu yang
diinfestasi parasit clonorchis sinensis
atau askaris lumbrikoides, esteria colli membentuk B-Glukoronidase yang
dianggap mendekonjugasikan bilirubin didaalam empedu yang menyokong pembentukan
kalsium bilirubinat yang tak dapat larut.
7. Gejala Klinik (David, 1994;
Fransisca, 2009)
a. Nyeri
Nyeri (60%) bersifat kolik, mulai daerah
epigastrium kanan dan menjalar
ke bahu kanan. Jika duktus sistikus tersumbat oleh
batu empedu, maka kandung empedu akan mengalami distensi dan infeksi . Sehingga
pasien akan mengalami panas dan teraba massa padat pada abdomen. Pasien akan dapat mengalami
kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas yang menjalar
kepunggung.
b. Rasa nyeri diserta dengan rasa mual
dan muntah dan bertambah hebat saat
makan makanan dalam porsi besar. Serangan kolik bilier disebabkan kontraksi
kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersembatnya
saluran empedu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan
menyentuh dinding abdomen pada daerah katilago kosta 9-10 kanan. Nyeri tekan yang mencolok ketika passien
melakukan inspirasi dalam dan pengembangan rongga dada (Murphy sign).
c. Demam
Demam timbul
jika terjadi keradangan
( kolesistitis /kolangitis).
d. Ikterus
Ikterus obstrksi terjadi bila ada batu
yang menyumbat saluran empedu utama (duktus hepatikus/ koledukus).
Akibatnya getah empedu yang tidak lagi dibawa ke dalam duodenum akan diserap
oleh darah dan penyerapan ini akan menimbulkan kulit dan mukosa berwarna kuning disertai gejala gatal-gatal
pada kulit.
e. Perubahan warna urine dan feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan
membuat urin akan berwarna sangat gelap. Feses
yang tidak diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu dan pekat
disebut “clay-colored”.
f. Defisiensi vitamin
Obstruksi aliran empedu akan mengganggu
absorbsi vitamin ADEK yang larut lemak.
Oleh karena itu pasien akan memperlihatkan gejala defisiensi vitamin.
Defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang normal.
8. Pemeriksaan dan Diagnosis (Brunner,
2001; David, 1994)
a. Laboratorium.
Pada ikterus
obstruksi terjadi :
1) Peningkatan kadar bilirubin direk, kolesterol, alkali
fosfatase, gamma glukoronil
trasnferase dalam darah.
2) Bilirubinuria, peningkatan bilirubin
serum menunjukkan kelainan hepatobiliaris. Bilirubin serum dapat meningkat
tanpa penyakit hepatobiliaris pada banyak jenis kelainan yang mencakup episode
bermakna hemolisis intravaskuler dan sepsis sistemik.
3) Tinja akolis
b. USG
Menyatakan
kalkuli dan distensi kandung empedu atau duktus empedu.
c. Foto polos abdomen
Ditemukan adanya udara /gas di dalam
batang saluran empedu atau didalam lumen atau dinding vesika biliaris bersifat
abnormal. Adanya massa jaringan lunak yang mengiddentasi duodenum atau fleksura
koli dextra menggambarkan vesika biliaris yang terdistensi
d. Kolesistogram oral
Pemberian 6 tablet asam yopanoad
diberikan peroral pada malam sebelum pemeriksaan dan pasien dipuasakan.
Digunakan untuk mengetahui batu empedu atau tumor.
e. Kolangiografi intravena
Untuk memungkinkan visualisasi
keseluruhan batang saluran empedu extra hepatik. Tes ini telah tergantikan oleh
pemeriksaan yang lebih aman.
f. CT scan
Untuk mendeteksi bila batu mengandung
kalsium dalam jumlah yang lumayan, menentukan abses intra hepatik, perihepatik,
atau trikolesistika. Menentukan duktus intra hepatik yang berdilatasi.
g. ERCP
Tes ini melibatkan opasifikasi langsung
batang saluran empedu dengan kanulasi endoskopi
ampulla vateri dan suntikan retrograt zat kontras. Didapatkan anatomi
duktus biliaris dan pankreatikus .
Visualisassi mukosa periampulla
dan duodenum.
h. PTC (colangiografi transhepatis
perkutis)
Memungkinkan dekompresi saluran empedu
non bedah pada pasien kolingitis akut toksik. Drainase perkutis dapat digunakan untuk menyiapkan
pasien ikterus obstruksi untuk pembedahan dengan menghilangkan ikterusnya dan
memperbaiki fungsi hati.
i.
Arteriografi
Evaluasi
prabedah passien keganasan saluran empedu.
j.
Biopsi
hati
Digunakan untuk membedakan kolestasis intrahepatik
dari extrahepatik, karena biopsi akan
menentukan luas sirosis biliaris skunder.
9. Penatalaksanaan (Brunner, 2001)
a. Diet dan penatalaksanaan pendukung
Dalam kondisi inflamasi akut kandung
empedu sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik,
analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah ditunda sampai gejala akut mereda
kecuali jika kondisi pasien memburuk. Manajemen terapi :
1) Diet rendah lemak, tinggi kalori,
tinggi protein
2) Pemasangan pipa lambung bila terjadi
distensi abdomen
3) Pemberian terapi intravena, infus
cairan dan elektrolit, untuk mencegah
terjadinya syok.
4) Pemberian antibiotik sistemik,
vitamin K, analgesik.
b. Pengambilan batu tanpa pembedahan
1) Pelarutan batu empedu dengan bahan
pelarut (monooktanoin atau metil tertier
eter/MTBE)
2) Selang atau kateter dipasang
perkutan langsung ke dalam kandung empedu melalui saluran T tube untuk
melarutkan batu yang belum dikeluarkan saat pembedahan,melalui endoscopy ERCP.
3) Pengambilan batu non bedah.
Digunakan untuk batu yang belum terangkat pada saat kolesistektomi atau
terjepit dalam duktus koledukus, melalui prosedur ERCP.
4) Proseddur ESWL (Extracorporeal Shock Wave Litrotipsi)
Prosedur
non infasif menggunakan gelombang kejut berulang yang diarahkan kepada
batu empedu didalam kandung empedu atau duktus atau
duktus koledukus dengan maksud untuk memecah batu menjadi sejumlah fragmen.
c. Pengambilan batu dengan pembedahan
Penanganan bedah pada penyakit kandung
empedu dan batu empedu dilaksanakan untuk menguragi gejala yang sudah
berlangsung lama untuk menghilangkan kolik bilier dan untuk mengatasi
kolesistitis akut. Pembedahan dapat efektif bila gejala yang dirasakan pasien
sudah mereda atau bisa dikerjakan sebagai suatu prosedur darurat bila mana
kondisi pasien mengharuskannya. Tindakan operasi meliputi :
1) Minikolesistektomi
Prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung
empedu melalui luka incisi selebar 4
cm. Kontroversi prosedur ini timbul karena ukuran insisi membatasi pajanan
semua struktur bilier yang terlibat.
2) Kolesistektomi
Prosedur beddah dimana kandung empedu
diangkat setelah arteri dan duktus sistikus diligali. Sebuah drain ditempatkan
dalam kandung empedu dan ddibiarkan keluar lewat luka operasi untuk mengalirkan
darah, cairan serosanguinus dan getah empedu dalam kassa absorben.
3) Kolesistektomi laparoscopi
(endoscopi)
Dilakukan lewat luka insisi yang
kecil atau luka tusukan melalui dinding
abdomen pada umbilikus.
4) Kolesistotomi perkutan
Dilakukan dalam penaanganan dan penegakan
diagnosis pada pasien-pasien yang berisiko jika harus menjalani tindakan
pembedahan atau anestesi umum yaitu pasien-pasien penderita sepsis atau gagal
jantung yang berat dan gagal ginjal, paru atau hati.
10. Patofisiologi (David, 1994;
Fransisca, 2009)
a. Peningkatan sekresi empedu dapat
terjadi karena kegemukan diit tinggi kalori, atau obat, sehingga meningkatkan
aktivitas hidroksimetilglutarit-koenzim A reduktase. Suatu enzim yang
menentukan pembentukan kolesterol hati. Gangguan konfersi kolesterol menjdi
asam empedu mengakibatkan peningkatan kolesterol litogenik atau asam empedu.
Terbentuknya empedu litogenik dari penurunan sekresi garam-garam empedu dan
fosfolipid oleh hati setelah terjadi gangguan sintesis hati. Penurunan aktivitas kolesterol
hidroksilase, enzim penentu kecepatan sintesis asam empedu primer. Kelebihan
kolesterol empedu dengan assam empedu dan fosfolipid dapat disebabkan oleh
hipersekresi kolesterol, hiposekresi
asam empedu atau keduanya. Kejenuhan kolesterol dalam empedu merupakan
prasarat pembentukan batu empedu. Penjenuhan empedu oleh kolesterol disebabkan
oleh :
1) Penurunan jumlah asam empedu
2) Peningkatan konfersi asam folat oleh
cadangan asam deoksikolat disertai enggantian cadangan asam folat oleh asam
deoksilat. Gangguan pertama disebabkan oleh hilangnya asam empedu primerr
ddengan cepat dari usus halus ke kolon. Gangguan kedua terjadi dari peningkatan
dehidroksilasi asam folat dan peningkatan penyerrapan asam deoksikolat
b. Gangguan pembentukan vesikel.
Kolesterol disekresikan ke dalam empedu seebagai vesikel berlapis unilameral
yang tidak stabil dan dirubah dengan asam empedu menjadi agregrat lipid. Selama
pembentukan lebih banyak fosfolipid dari pada kolesterol. Hal ini menyebabkan
pembentukan vesikel lebih kaya kolesterrol yang menyatu menjadi vesikel besar
multilameral tempat terbentuknya
agregasi kolesterol.
c. Nukleasi kristal kolesterol
monohidrat pada empedu litogenik.
Percepatan nukleasi kolesterol nonhidrat dalam empedu dapat diseebabkan
peningkatan faktor pronukleasi atau difesiensi faktor antinukleasi.
Glikoprotein musin dan nonmusin fosfatidilkolin merupakan faktor pronukleasi
dan antinukleassi lain belum lengkap. Nukleassi kristal kolesterol monohidrat
dan pertumbuhan kristal berlangsung di dalam lapisan gel musin. Fusi vesikel
menyebabkan terbentuknya kristal kolesterrol monohidrat. Pertumbuhan kristal
yang terus-menerus berrlangsung melalui nukleassi langsung molekul kolesterol dari
vesikel empedu uni/multi lameral yang jenuh
d. Kolesterol merupakan endapan empedu
yang dalam pemeriksaan mikroskopi memperlihatkan kristal lesiti koleterrol,
kristal kolesterol monnohidrat, kalsium bilirubinat, dan serat musin atau gel
mukosa. Endapan empedu membentuk enddapan bulan sabit di bagian terrbawah
kandung empedu. Adanya endapan empedu mencerminkan dua kelainan :
1) Keseimbangan normal antara sekresi
dan eleminasi musin kandung empedu yang mengalami gangguan
2) Telah terjadi nukleasi zat-zat terlarut dalam empedu.
11. Komplikasi (David, 1994)
a. Kolesistitis akut
b. Ikterus obstruksi karena batu
saluran empedu
c. Kolangitis
d. Ilius obstruksi karena batu
e. Degenerassi keganasan
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjor. 2001. Kapita
Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 3 Media Aesculapius. FKUI: Jakarta
Brunner and Suddarth. 2001. Keperawatan Mendikal Bedah
volume 2 edisi 8. Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Jull.1998. Diagnosa Keperawatan edisi 6. Jakarta: EGC
Dr.Tambayon jan. 2000. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakata: EGC
Evelyn, Pearce.
2002. Anatomi Fisiologi untuk Paramedis.
Gramedia: Jakarta
Marilynne Doengoes dkk.1999. Rencana Asuhan
keperawatan edisi 3.Jakarta: EGC
Nealon F Thomas,William H Nualan.1996. keterampilan
pokok ilmu bedah edisi IV. Jakarta: EGC
Price A.
Sylvia, lorraine M Wilson.2005. Patofisiologi konsep-konsep klinis
proses-proses penyakit, edisi 6, volume 1. Jakarta: EGC
Soeparman.1994. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1
edisi 2. Jakarta. FKUI
Sudarmaji,
Walid.2007.Hand out KMB 3.Asuhan Keperawatan Batu Empedu. Jakarta: AKPER
RSPAD Gatot soebroto
Tucker Martin susan dkk.1998. Standar perawatan pasien volume 2. Jakarta: EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar